Photo by Melanie Klepper on Unsplash
Di tengah ketidakpastian ekonomi yang ditandai dengan kenaikan harga dan PHK di berbagai sektor, muncul fenomena menarik di masyarakat Indonesia – tingginya permintaan akan produk-produk seperti tiket konser, boneka koleksi, dan smartphone premium. Fenomena ini selaras dengan konsep “lipstick effect” yang pertama kali dicatat oleh Leonard Lauder dari Estée Lauder Companies, di mana terjadi peningkatan penjualan produk kosmetik saat resesi ekonomi (Hill et al., 2012).
Studi longitudinal selama 20 tahun menunjukkan bahwa saat terjadi ketidakpastian ekonomi di mana tingkat pengangguran meningkat, terjadi penurunan konsumsi pada produk-produk seperti furnitur dan elektronik. Namun, di sisi lain justru terjadi peningkatan pada produk-produk yang berkaitan dengan penampilan (Hill et al., 2012). Fenomena serupa terlihat dalam konteks Indonesia kontemporer, di mana produk-produk lifestyle dan hiburan tetap diminati meski kondisi ekonomi menantang.
Pandemi COVID-19 memberikan perspektif baru dalam memahami perilaku konsumsi ini. Bahl et al. (2022) mencatat bahwa meski terjadi penurunan aktivitas ekonomi secara umum selama pandemi, penjualan online untuk kategori kecantikan dan perawatan pribadi justru meningkat signifikan. Amazon melaporkan kenaikan 70% untuk kategori ini dibandingkan periode pra-pandemi.

Dari perspektif budaya, fenomena ini dapat dijelaskan melalui konsep “cultural consumption” atau konsumsi kultural yang berkembang di negara-negara Asia. Penelitian di China menunjukkan bahwa konsumsi kultural tetap tumbuh bahkan saat ekonomi sulit karena dianggap penting untuk pemenuhan kebutuhan spiritual (Qiu, 2012). Hal ini paralel dengan fenomena tingginya permintaan tiket konser di Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai bentuk konsumsi kultural.
Teori evolutionary psychology menyarankan bahwa perilaku konsumsi ini mungkin merupakan respons adaptif terhadap ketidakpastian ekonomi (Hill et al., 2012). Namun, dalam konteks kontemporer, motivasinya bisa lebih kompleks, mencakup aspek psikologis seperti self-reward dan social signaling di media sosial (Bahl et al., 2022).
Fenomena ini menantang asumsi ekonomi klasik bahwa konsumsi akan menurun seiring penurunan daya beli. Sebaliknya, data menunjukkan bahwa konsumen melakukan realokasi prioritas belanja, mengurangi konsumsi pada beberapa kategori namun mempertahankan atau bahkan meningkatkan konsumsi pada kategori yang dianggap penting secara psikologis atau sosial.
Pemahaman tentang pola konsumsi ini penting bagi pelaku bisnis dan pembuat kebijakan. Di tengah ketidakpastian ekonomi, strategi pemasaran dan kebijakan ekonomi perlu mempertimbangkan aspek psikologis dan sosial yang mempengaruhi keputusan konsumsi masyarakat, tidak hanya berfokus pada faktor ekonomi semata.
Fenomena ini juga menunjukkan pentingnya penelitian lebih lanjut untuk memahami bagaimana faktor budaya lokal dan perkembangan teknologi digital mempengaruhi manifestasi “lipstick effect” dalam konteks Indonesia kontemporer.
Daftar Rujukan:
Bahl, A., De La Garza, H., Lam, C., & Vashi, N. A. (2022). The lipstick effect during COVID-19 lockdown. Clinics in Dermatology, 40(3), 299-302.
Hill, S. E., Rodeheffer, C. D., Griskevicius, V., Durante, K., & White, A. E. (2012). Boosting beauty in an economic decline: Mating, spending, and the lipstick effect. Journal of Personality and Social Psychology, advance online publication. doi: 10.1037/a0028657
MacDonald, I. (2020). Social and psychological determinants of consumption: Evidence for the lipstick effect during the Great Recession. Boston University Department of Economics Working Paper.
Qiu, L. (2012). Theory and empirical research on cultural consumption in China: Lipstick effect. GSTF Journal on Business Review, 2(2), 115-119.