Photo by Jakub Żerdzicki on Unsplash
Dunia kerja Indonesia sedang tidak baik-baik saja secara manajemen risiko. Berdasarkan Bloomberg Technoz, data dari Kementerian Ketenagakerjaan mencatat lebih dari 46.000 pekerja terkena PHK hingga Agustus 2024, dengan proyeksi bisa mencapai 70.000 kasus pada akhir tahun. Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika siklus hidup bisnis yang dialami berbagai sektor industri.
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang melanda Indonesia pada tahun 2024 perlu dilihat dari perspektif yang lebih komprehensif, khususnya melalui pendekatan siklus hidup produk dan manajemen risiko.
Dalam konteks siklus hidup produk, banyak perusahaan terutama di sektor teknologi dan startup telah mencapai fase maturity (kedewasaan), di mana fokus bergeser dari pertumbuhan ke efisiensi operasional. Sementara itu, sektor manufaktur dan tekstil bahkan telah memasuki fase decline (penurunan) akibat tekanan dari produk impor dan penurunan daya beli masyarakat. Kondisi ini mendorong perusahaan untuk melakukan efisiensi melalui PHK sebagai strategi bertahan.

Dari sudut pandang manajemen risiko, fenomena PHK sebenarnya menunjukkan tanda-tanda awal yang bisa diidentifikasi, seperti pemotongan bonus, perubahan strategi bisnis, dan kondisi makroekonomi yang tidak mendukung seperti tingginya suku bunga. Namun, banyak perusahaan yang tidak melakukan antisipasi dan mitigasi risiko secara memadai. Akibatnya, PHK dilakukan secara mendadak dan tanpa persiapan yang cukup bagi karyawan, seperti yang dialami oleh beberapa pekerja yang hanya diberi waktu dua minggu sebelum diberhentikan.
Baca juga: Gelombang PHK 2024: Apakah Fenomena Black Swan Event?
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan pendekatan manajemen risiko yang lebih komprehensif. Perusahaan perlu mencari kurva pertumbuhan kedua dan melakukan transformasi skill karyawan secara terencana. Transparansi komunikasi dengan karyawan juga menjadi kunci penting untuk mengelola dampak PHK. Sementara dari sisi pemerintah, diperlukan peninjauan ulang kebijakan yang membebani dunia usaha, pengembangan program pelatihan vokasi, dan standarisasi untuk peningkatan produktivitas.
PHK massal yang terjadi saat ini sebenarnya merupakan kombinasi dari siklus hidup produk yang mencapai fase maturity/decline dan manajemen risiko yang kurang optimal. Pengalaman dari kasus-kasus PHK yang terjadi menunjukkan bahwa perusahaan yang mampu mengantisipasi perubahan siklus bisnis dan menerapkan manajemen risiko dengan baik cenderung dapat mengelola proses PHK dengan lebih manusiawi dan memberikan waktu persiapan yang cukup bagi karyawan.

Ke depan, diperlukan kolaborasi antara pelaku usaha dan pemerintah untuk menciptakan ekosistem ketenagakerjaan yang lebih tangguh. Perusahaan perlu mengembangkan sistem peringatan dini untuk mengidentifikasi risiko PHK, sementara pemerintah perlu memastikan ketersediaan program pelatihan dan pemberdayaan bagi pekerja yang terkena PHK. Dengan pendekatan yang lebih terencana dan komprehensif, dampak negatif dari PHK dapat diminimalkan dan pekerja mendapatkan kesempatan lebih baik untuk mempersiapkan diri menghadapi perubahan karir.