Photo by Álvaro CvG on Unsplash
Masih ingat pernikahan mewah bak dongeng dari selebriti? Pernikahan yang glamor itu tidak hanya disaksikan oleh orang-orang yang hadir di lokasi acara tersebut, yang tentunya didesain dengan sangat mewah bak pernikahan raja dan ratu, namun juga disaksikan oleh jutaan pasang mata lain yang melihat melalui TV dan internet secara live. Namun, apa yang terjadi dengan pasangan tersebut beberapa tahun sesudahnya? Sayangnya pernikahan mereka tidak bertahan lama.
Fenomena pernikahan mewah selebriti yang berakhir singkat mencerminkan pergeseran mendalam dalam makna pernikahan di era modern. Berdasarkan penelitian Karen L. Daas dalam disertasinya “Women, Weddings, and Popular Culture” (2005), ritual pernikahan telah bertransformasi dari peristiwa sakral komunal menjadi pertunjukan individual yang berbasis konsumsi.
Pernikahan modern, khususnya di kalangan selebriti, sangat dipengaruhi oleh apa yang disebut “wedding-industrial complex” – jaringan industri pernikahan yang menciptakan standar kemewahan melalui media dan budaya populer. Kompleks ini mendorong pandangan bahwa kesuksesan pernikahan diukur dari seberapa mewah perayaannya, bukan dari kekuatan hubungan pasangan. Akibatnya, fokus berlebihan diberikan pada aspek seremonial seperti gaun, dekorasi, dan resepsi, sementara pembangunan fondasi emosional yang kuat terabaikan.
Media sosial, terutama Instagram, memainkan peran kunci dalam membentuk ekspektasi pernikahan. Konten pernikahan selebriti di Instagram secara signifikan mempengaruhi standar dan menciptakan tekanan sosial baru tentang bagaimana seharusnya pernikahan diselenggarakan. Platform ini menjadi tempat kelas atas menciptakan hegemoni budaya melalui promosi gaya hidup mewah yang kemudian dianggap sebagai standar normal yang harus diikuti. Hal ini sesuai dengan temuan Islam et al berjudul “Role of Instagram in Promoting Extravagant Wedding Trends” (2021).
Paradoks muncul ketika pernikahan mewah justru berakhir singkat karena beberapa faktor. Pertama, tekanan untuk mengadakan pernikahan spektakuler sering berasal dari ekspektasi publik dan kepentingan komersial, bukan dari keinginan tulus pasangan. Kedua, ada ketegangan antara citra tradisional pernikahan dengan identitas modern wanita yang mandiri. Ketiga, konsumsi dan kemewahan yang menjadi fokus utama tidak berbanding lurus dengan kematangan hubungan.
Baca juga: Konsumsi di Tengah Ketidakpastian Ekonomi: Analisis Berdasarkan Teori Lipstick Effect
Menariknya, meski banyak yang menyadari paradoks ini, ritual pernikahan mewah tetap dianggap sebagai penanda kesuksesan, terutama bagi wanita. Ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh industri pernikahan dalam membentuk persepsi masyarakat. Pernikahan tidak lagi sekadar ritual sakral penyatuan dua insan, tapi telah menjadi ajang pertunjukan status sosial dan kemampuan konsumsi. Ketika fondasi hubungan tidak sekuat nuansa kemewahan yang ditampilkan, tidak mengherankan jika pernikahan tersebut berumur pendek.
Fenomena ini merefleksikan pergeseran nilai dalam masyarakat modern di mana aspek material dan pertunjukan sosial lebih diprioritaskan dibanding makna mendalam dari sebuah komitmen pernikahan. Paradoks pernikahan mewah namun singkat ini menjadi cermin kritik terhadap budaya konsumerisme yang telah mengubah sakralitas pernikahan menjadi sekadar kesempatan untuk pamer kemewahan.